ISUE ETIK DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
I.
EUTHANASIA
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian)
adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan
suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis.
Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di
negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Dari
sudut cara pelaksanaannya
:
a. Eutanasia
agresif, disebut juga eutanasia
aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang
pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu
senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet
sianida.
b. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut
eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia
negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak
secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun
mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
c. Eutanasia
pasif dapat
juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan,
tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan
oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki
kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada
permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang
paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara
alamiah sebagai upaya defensif medis.
Dari sudut
pemberian izin :
§
Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia
yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan denganpembunuhan.
§Eutanasia
secara tidak sukarela:
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang
wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
§Eutanasia
secara sukarela :
dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial.
Dari sudut tujuan
:
§ Pembunuhan berdasarkan
belas kasihan (mercy killing)
§ Eutanasia hewan
§ Eutanasia berdasarkan
bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara
sukarela.
Beberapa contoh kasus
eutanasia :
1. Kasus
Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada
tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan
Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33
tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk
melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia
yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
2. Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di
rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan
kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat
penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan
pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa
ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat
bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat
bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan
koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien
tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
II.
ABORSI
Gugur
kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan
kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun
setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi:
Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau
sebab-sebab alami.
Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan
yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:
Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam
kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah
pemerkosaan.
Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
Dalam bahasa
sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan untuk spontaneous
abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced
abortion.
Klasifikasi Abortus :
1.
Abortus spontanea
Abortus
spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa
tindakan, dalam hal ini dibedakan sebagai berikut:
Abortus imminens,
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
A. Pengertian Abortus imminen
adalah perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sauatu
kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau
dipertahankan. (Syaifudin. Bari Abdul, 2000) Abortus imminen adalah perdarahan
pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu, tanpa tanda-tanda dilatasi
serviks yang meningkat ( Mansjoer, Arif M, 1999) Abortus imminen adalah
pengeluaran secret pervaginam yang tampak pada paruh pertama kehamilan (
William Obstetri, 1990)
B. Etiologi Abortus dapat terjadi
karena beberapa sebab yaitu :
i. Kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi, biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu.
Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
- Kelainan kromosom, terutama
trimosoma dan monosoma X
- Lingkungan sekitar tempat
impaltasi kurang sempurna
- Pengaruh teratogen akibat
radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol
ii. kelainan pada plasenta,
misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun
iii. faktor maternal seperti
pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
iv. kelainan traktus genetalia,
seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi
uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.
Abortus insipiens,
Peristiwa perdarahan uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang
meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
Abortus inkompletus,
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Abortus kompletus,
semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.
2. Abortus provokatus
Abortus
provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja
dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat
hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi dianggap belum dapat hidup
diluar kandungan apabila usia kehamilan belum
mencapai 28 minggu, atau berat badan bayi
kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan berat
dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Pengelompokan Abortus provokatus secara
lebih spesifik:
Abortus
Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus,
abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik.
Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah
demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
-
Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli
kebidanan dan penyakit kandungan)
sesuai dengan tanggung jawab profesi.
-
Harus ada persetujuan tertulis dari
penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
-
Dilakukan di sarana kesehatan yang
memiliki tenaga/peralatan yang
memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.
-
Prosedur tidak dirahasiakan.
Abortus
Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa
adanya indikasi medik (ilegal).
Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat
tertentu.
Penyebab abortus :
Karakteristik ibu hamil dengan abortus yaitu :
1. Umur
Dalam
kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat
kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara
emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu
yang masih muda masih tergantung pada orang lain.
Keguguran
sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang
tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang dilakukan oleh tenaga nonprofessional
dapat menimbulkan akibat samping yang serius seperti tingginya angka kematian
dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemandulan.
Abortus yang terjadi pada remaja terjadi karena mereka belum matur dan mereka
belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa.
Abortus
dapat terjadi juga pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman,
tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat
memengaruhi janin intra uterine.
2. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
Jarak
kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik,
persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum
pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan
(di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya
perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia
dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
3. Paritas ibu
Anak
lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan saat
persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan
paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.
Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
4 Riwayat Kehamilan yang lalu
Menurut
Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita
ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan Fraser dan Llewellyn Jones memberi
prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
Penyebab
dari segi Janin :
-
Kematian janin akibat
kelainan bawaan.
Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis
Abortus
telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada
undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal
ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk
melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus
mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai
timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara
di dunia terhadap tindakan abortus.
Hukum abortus di
berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai
berikut :
-
Hukum yang tanpa
pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan
Pakistan.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan Swiss.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus atas indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris,
Scandinavia, dan India.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion
on requst atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR,
Singapura.
-
Hukum yang memperbolehkan
abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila fetus yang akan
lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India
-
Hukum yang memperbolehkan
aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat perkosaan)
seperti di Jepang,
Di
Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik
Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan
pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang
akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter
Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan
Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap
hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dari
aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: :Setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada
pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan
implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di
masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi
tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari
profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah
pemecatan anggota profesi dari komunitasnya
III.
TRANSPLANTASI ORGAN
1. Pengertian
Transplantasi
organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang
lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ
yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih
berfungsi dari donor. Donor
organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah
meninggal.
2. Jenis-jenis
transplantasi
a. Transplantasi Autologus
Yaitu
perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri, yang
dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi.
b. Transplantasi Alogenik
Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya, baik dengan
hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
c. Transplantasi Singenik
Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada gambar
identik.
d. Transplantasi Xenograft
Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
3. Komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi :
a.Eksplantasi
Yaitu
usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah
meninggal.
b. Implantasi
Yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh
sendiri atau orang lain.
4. Reaksi Penolakan
Terjadi oleh sel T helper (CD4+) resepien
yang mengenal antigen MHC allogenic. Sel T helper merangsang sel Tc (T
cititixic atau CD8+) mengenal antigen MHC allogenic untuk membunuh sel sasaran.
Sel T helper melalui Limfokin menyebabkan Makrofag dikerahkan akibatna
kerusakan jaringan target. Reaksi yang terjadi mirip dengan Hipersensitivitas
tipe IV (Gell dan Coombs). Tipe reaksi penolakan :
a. Rejeksi hiperakut
Yaitu reaksi yang terjadi dalam 24 jam
setelah transplantasi.
b. Rejeksi
Akut
Yaitu reaksi yang terlihat pada resepien
yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan pada penolakan umum
allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang efektif.
c. Rejeksi Kronis
Yaitu hilangnya fungsi organ yang
dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan/tahun sesudah organ berfungsi
normal dan disebabkan oleh sensivitas yang timbul terhadap antigen transplan
atau oleh sebab intoleransi terhadap sel T.
IV.
SUPPORTING DEVICES
1. Pengertian Supporting Devices
Supporting Devices adalah
perangkat tambahan atau pendukung. Jika ditinjau dari segi keperawatan, maka
dapat kita simpulkan kalau supporting devices itu adalah perangkat tambahan
yang digunakan dalam dunia kesehatan pada para perawat dalam melakukan praktek.
2. Klasifikasi Supporting Devices
a.
Alat bantu
Teknologi
medis yang canggih merupakan alat atau perkakas untuk para dokter, dan alat
bantu akan mengurangi beban perawat. Kemajuan dalam layanan medis dengan sistem
komputerisasi ang canggih, melindungi jiwa banyak orang. Produk THK memnuhi
standar reabilitas tertinggi ang diperlukan untuk alat medis.
b.
Peralatan sinar X
Pemandu
LM dan Cincin Roller Lintang digunakan untuk pergerakan reseptor sinar X. Ini
memungkinkan mesin sinar X untuk menggerakkan unit transmiter dan penerim sinar
ke arah manapun dan mengambil gambar dari sudut manapun, tanpa bergantung pada
posisi pasien. Saat produk THK digunakan, getaran dan suara mesin juga
dikurangi sehingga menghilangkan kekhawatiran pasien. Sinar X yang mampu
melakukan penetrasi ke dalam tubuh
pasien.
c.
Peralatan analisis otomatis hematologikal
Splina
Bola dapat menekan getaran di ujung injektor saat dihentikan, dan mur perubah
sekrup geser memungkinkan terciptanya mekanisme pengumpanan dengan kecepatan
tinggi dan sangat mulus.
d. Pemindai CT sinar X medis
Pemindai
CT sinar X merupakan perangkat tunggal yang memindai keseluruhan tubuh pasien
dan terdiri dari pemindai CT (Computed Tomography) dan peralatan angiografi.
Pada perangkat ini, pemandu LM THK digunakan di bagian gerakan longitudinal
yang menggerakkan pasien yang terbaring di tempat tidur selama proses
pemindaian. Karena pemandu tersebut dapat mengurangi getaran dan suara selama
gerakan sistem, komponen ini dapat menghilangkan kekhawatiran pasien.
3.
Fungsi Klasifikasi Supporting Devices
a. Fungsi Sinar X yaitu untuk
melihat kondisi tulang serta organ tubuh tanpa melakukan pembedahan pada tubuh
pasien.
b. Fungsi analisis otomatis
hematologikal yaitu untuk transportasi vertikal injektor reagen dalam
peralatan tes hematologikal.
c. Fungsi CT sinar X
medis yaitu untuk diagnosis sistem sirkulasi.
d. Fungsi penopang kursi roda
elektrik yaitu dalam fasilitas mandi dengan pengangkat (lift)
bertenaga listrik.
e. Fungsi Robot pendukung
pembedahan yaitu robot pendukung pembedahan dapat menjadi alat yang
berdaya guna tinggi, dan juga membuat proxide ini menjadi kompak untuk
mendapatkan tingkat akurasi tinggi selama pembedahan, sehingga mampu
mensimulasi gerakan dokter yang dapat diandalkan.
f. Fungsi Handheld yaitu mulai
meningkatkan kemampuan untuk berfikir kritis terkait tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita oleh
pasien tersebut.
g. Fungsi Handheld Device yaitu Handheld
device digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien melalui
kemampuan mengakses informasi, mempermudah penghitungan, dan memperlancar
komunikasi.
h. Fungsi Wireless Communication yaitu untuk
memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium pasien atau melakukan perubahan
pesanan ke laboratorium.
4. Dampak Negatif Supporting
Devices
a.Sinar
X
Terlepas dari
peranan Sinar X dalam menunjang informasi diagnosis klinis, Sinar X ternyata
memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan secara khusus, yaitu
berkaitan dengan efek negatif yang ditimbulkan.
Perlu diketahui
bahwa Sinar X dengan karakteristiknya memiliki energi minimal sebesar 1 KeV =
1000 eV. Energi sebesar ini jika berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya
dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif.
Ada beberapa
kemungkinan peristiwa yang dapat terjadi, ketika Sinar X berinteraksi dengan
materi (tubuh manusia) dari sudut pandang mikroskopis, yaitu hamburan Compton,
hamburan Fotolistrik dan hamburan Pair Production. Hamburan Compton
terjadi karena Sinar X berinteraksi dengan elektron yang terletak pada
lintasan terluar, yang selanjutnya elektron ini akan terlempar keluar dari
atom.
Efek hamburan
Compton umumnya terjadi pada rentang energi sekitar 26 keV (kilo elektron volt)
untuk diagnostik. Hamburan fotolistrik terjadi ketika Sinar X berinteraksi
dengan atom materi dan melemparkan salah satu elektron sehingga mengakibatkan
elektron lainnya, bergerak menuju lintasan yang kehilangan elektron sambil
melepaskan energinya.
Hamburan ini
juga dapat terjadi pada energi untuk diagnostik. Sedangkan hamburan pair
production jarang sekali terjadi di bidang imaging diagnostik karena membutuhkan
energi Sinar X yang sangat besar 1,02 MeV (mega elektron volt). Walaupun sudut
pandang ini hanya dilihat secara mikroskopis, secara makroskopis dikhawatirkan
akan mengganggu kestabilan atom materi dan menimbulkan kelainan pada sel tubuh
manusia.
Ini perlu
kehati-hatian dan pemilihan yang tepat dalam penggunaannya di bidang medis.
Walaupun secara empiris pasien yang diberikan Sinar X pada level diagnostik
medis di rumah sakit tidak mengalami gejala ataupun tanda-tanda kerusakan
jaringan. Namun gejala kelainan pada tubuh manusia akan muncul jika diberikan
Sinar X secara berlebihan. Oleh karena itu paparan radiasi medis (diagnostik
imaging) yang mengenai tubuh pasien diharapkan sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan kebutuhan dalam imaging adalah kualitas citra yang mampu menunjang
diagnosis klinis yang diderita pasien dengan tidak memberikan paparan radiasi
yang berlebihan atau tidak dibutuhkan kepada tubuh pasien.
b.CT
Scan
Ternyata radiasi
alat-alat tersebut dalam waktu lama bisa meningkatkan risiko terserang penyakit
leukemia.
Sinar-X adalah
suatu radiasi berenergi kuat yang tergantung pada dosisnya, dapat mengurangi
pembelahan sel, merusak materi genetik, dan menimbulkan defek pada bayi yang
belum dilahirkan. Sel-sel yang membelah cepat adalah paling sensitif terhadap
paparan sinar-x. Bayi dalam perut ibu sensitif terhadap sinar-x karena
sel-selnya masih dalam taraf pembelahan dengan cepat, dan berkembang menjadi
jaringan dan organ yang berbeda-beda. Pada dosis tertentu, paparan sinar-x pada
wanita hamil dapat menyebabkan keguguran atau cacat pada janin yang
dikandungnya, termasuk kemungkinan terjadinya kanker pada usia dewasa.
Memang sebagian
besar prosedur pemaparan sinar-x menghasilkan radiasi yang relatif ringan.
Namun sebagai langkah jaga-jaga, penggunaan sinar-x pada wanita hamil kecuali
benar-benar perlu,harus dihindari. Wanita yang melalui pemeriksaan rontgen
sebelum mengetahui status kehamilannya harus berbicara kepada dokternya.
CT Scan memang
bisa memberikan hasil tes medis secara cepat dan rinci. Beberapa penyakit pada
anak seperti radang paru atau patah tulang juga membutuhkan alat-alat pemindai
kesehatan untuk diagnosis yang lebih akurat.
Tetapi para ahli
juga mengingatkan bahaya terselubung yang mungkin timbul. Pada anak-anak,
paparan sinar-X tiga kali atau lebih akan meningkatkan ancaman leukimia.
"Menghindari atau mengurangi paparan radiasi sangat penting," kata
Patricia Buffler, dari Univesitas Berkeleys School of Public Health, Amerika.
Dalam
penelitiannya, ia mengamati catatan medis 711 anak berusia maksimal 14 tahun
yang didiagnosa leukimia limfoid akut di California antara tahun 1995-2008. Ia
membandingkannya dengan data anak yang tidak menderita leukimia.
Secara umum
peningkatan risiko leukimia pada anak memang tidak terlalu besar. Dari 100.000
anak, ada 4 yang terkena leukimia. Namun, meski kasus kankernya kecil, tetap
saja risikonya ada. Buffler menjelaskan, radiasi yang terdapat dalam sinar-X
membuat sel-sel dalam tubuh bermutasi dan menciptakan kanker. CT-Scan yang
belakangan ini sangat populer memiliki tingkat radiasi yang lebih tinggi.
Pemajanan medan
elektromagnet yang terlalu sering diduga meningkatkan risiko kanker. Demikian
studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah New England Journal of
Medicine.
Kesimpulan tersebut
didapat berdasarkan survei terhadap 950.000 pasien. Hampir 70 persen pasien
pernah mengalami sekurangnya satu kali prosedur pencitraan yang membuat mereka
terpajan. Dalam waktu tiga tahun selanjutnya, diketahui mereka menderita
kanker.
DAFTAR
PUSTAKA
Euthanasia(2002).Colombia's Highest Court Legalizes
Euthanasia.From http://www.euthanasia.com/colum2.html, 11
September 2012
Apuranto, H. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal.Surabaya: Bag. Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UNAIR
World Health Organization.1988. Global and Regional
Estimates of Incidence of and Mortality due to Unsafe Abortion with a Listing
of Available Country Data. Geneva: Division of Reproductive Health (Technical Support) WHO
Prawirohardjo, Sarwono. 2002.Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo