“HALAMAN TERAKHIR”

Santha, 15, Bitung
Senin, 9 Mei 2010
Pukul 14.25
Sisil diam termangu. Di tangannya terdapat buku harian Diti yang diberikan ibunya, sepulang kuliah tadi siang.
“Bacalah. Kau akan mengetahui semuanya,” Ibu Diti berkata setengah memaksa. Ia meraih tangan Sisil dan meletakkan buku harian bergambar kupu-kupu biru di atasnya.
“Tapi,Bu, aku…,”Sisil berusaha menolak.
Tapi. Sebelum ia menyelesaikan kalimat , Ibunda Diti bergegas pergi.
Ia segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Sisil sendiri yang masih terbengong dengan buku harian Diti di tangannya.

Pukul 22.15
Buku harian itu masih tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur.Sisil memandang lama. Apakah aku harus membacanya? Terngiang kembali di telinganya kata-kata Ibunda Diti siang itu.
“Ipur bukan laki-laki yang baik bagimu atau siapapun juga. Gara-gara dia , sekarang Diti telah tiada. Jika bukan karena dia, Diti sekarang pasti…”Ibunda Diti terisak pelan.Tubuhnya terguncang.
“Sudahlah Bu. Ibu jangan bersedih lagi. Biarkan Diti tenang di alam sana.”Sisil berusaha menenangkan.
“Diti tidak akan tenang selama laki-laki brengsek itu masih hidup. Dia bukan orang yang baik. Percayalah. Kau akan mempercayainya setelah membaca buku hariannya.”
Benarkan Ipur seburuk itu? Benarkah Ipur yang tidak pernah lupa mengirimkannya mawar merah setiap ia berulang tahun, yang selalu menelponnya hampir setiap malam hanya untuk mengucapkan selamat tidur, dan yang selalu menggandengnya mesra kemana pun mereka pergi adalah seorang penipu dan pembohong?
Tidak mungkin ! Aku tidak percaya ! Sisil menggelengkan kepala. Ia mematikan lampu dan membaringkan tubuhnya di pembaringan.
Ia baru beberapa menit memejamkan mata ketika rasa keingintahuannya yang besar sekonyong-konyong mengusik dan memaksanya untuk membuka mata kembali. Detik berikut, buku harian itu telah berada di tangannya. Lembar demi lembar halaman dibukanya. Sekilas matanya menyapu tulisan-tulisan rapi yang ditulis di atas kertas berwarna biru muda itu. Kemudian, ia mulai membaca.

3 Januari 2010
“… Aku bahagia sekali hari ini! Ini hari ulang tahun yang paling membahagiakan seumur hidupku. Ipur memberikanku seuntai kalung yang sangat indah. Dengan rantai batu berwarna biru. Warna kesukaanku! Dia bilang, kalung ini menjadi pengikat abadi kami berdua.…”

Sisil membalik halaman berikutnya.

6 Februari 2010
“…aku sangat mencintainya.Sangat! Aku percaya bahwa aku terciptauntuknya dan dia tercipta untukku. We will always be together. Forever and ever!”
Halaman-halaman berikutnya hanya berisi luapan rasa cinta Diti yang semakin menggebu-gebu. Betapa ia sangat memuja, merindukan, dan mencintai Ipur sepenuh hati.
Malam sudah semakin larut, tetapi Sisil masih asyik membuka halamn-halaman diary biru itu. Matanya menangkap sesuatu yang lain dari isi buku itu. Sesuatu yang memancarkan rasa ragu dan curiga!



19 Februari 2010
“…Hari ini Lia berkata padaku bahwa ia melihat Ipur dangan wanita lain di mal. Wanita berkulit putih dan berambut ikal sebahu. Mereka tampak mesra bergandengan tangan. Tapi, aku tidak percaya! Ipur bukan laki-laki seperti itu. Aku mengenalnya seperti aku mengtenal diriku sendiri. Aku percaya 100% padanya….”

30 Februari 2010
“…Adikku tadi sore berpapasan dengan Ipur di jalan. Ia melihatnya bersama wanita lain. Wanita berkulit putih dan berambut ikal sebahu. Adikku bahkan berkata itu bukan yang pertama kalinya. Dulu, ia ragu mengatakannya padaku karena tahu aku tidak akan mempercayainya. Tapi, mengapa mereka melihat Ipur-ku selalu dengan wanita yang sama ? Apakah aku salah menilainya selama ini?”
Sisil membuka halaman selanjutnya. Kini, ia menemukan nada kemarahan, kebencian dan keputusasaan…

5 Maret 2010
“…Aku terpaksa harus mengakhiri kecurigaanku padanya selama ini. Aku tak dapat duduk berdiam diri dan menerka-nerka apa yang sebetulnya sedang terjadi. Aku harus membuktikannya, walaupun tadinya aku ragu apa yang akan aku buktikan. Tapi hari ini, aku membututinya seharian penuh. Dan mungkin, itu akan menjadi hal yang paling kusesali seumur hidupku. Mataku harus melihat apa yang tak pernah mau aku lihat. Ini semua terlalu menyakitkan untukku. Juga telingaku. Telingaku terpaksa mendengar apa yang tak pernah mau aku dengar. Tapi aku yakin, jika tidak hari ini, cepat atau lambat kebenaran ini akan terkuak juga, walau kebenaran ini terasa sangat menyakitkan. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur karena aku telah mengetahui hal yang sebenarnya? Rasanya aku tak tahan lagi menerima semua kenyataan ini!”

6 Maret 2010
PUTUS!!!

7 Maret 2010
“… Aku tidak kuat lagi menerima semua ini. Aku ingin mati….”

10 Maret 2010
“…mungkin aku sebaiknya tidak pernah dilahirkan ke dunia ini sama sekali. Aku pikir akan jauh lebih baik kalau aku benar-benar tidak pernah ada dalam dunia ini. Aku sangat kecewa. Aku ingin segera mengakhiri penderitaanku ini. Aku tak kuat lagi menanggung rasa sakit ini. Sakit sekali…! Tapi aku percaya, jka aku tak dapat memilikinya di dunia ini, aku akan dapat memilikinya di dunia lain. Ipur, jika matamu telah dibutakan selama ini,aku akan membuatmu melihat bahwa kaulah milikku selamanya…”

Kalimat itu berakhir begitu saja. Tidak ada tulisan lagi di halaman-halaman berikutnya. Sisil menutup diary biru itu.

Selasa, 10 Mei 2010
Pukul 21.15
Telepon genggam itu berbunyi terus-menerus. Tapi, Sisil tak memedulikannya. Ia ingin menenangkan dirinya setelah membaca tulisan-tulisan di buku harian itu. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa Ipur adalah pria seperti yang di gambarkan dalam buku harian itu.

Jumat, 13 Mei 2010
Pukul 08.00
Sisil bersiap untuk berangkat ke kampus. Sudah beberapa hari ini ia menghindar dari Ipur, tapi hari ini ia harus meminta penjelasan darinya.

Pukul 09.05
Beberapa orang mahasiswa sedang berkerumun di depan papan pengumuman. Sisil dengan penasaran menghampiri papan pengumuman itu untuk ikut membaca apa yang ada di sana. Secarik kertas putih terpampang di atasnya. Detik berikutnya, lututnya terasa lemas dan matanya mulai berair….

“Turut berdukacita atas meninggalnya rekan kita Ipur Samuel, dari fakultas teknik elektro, pada hari Kamis, tanggal 12 Mei 2010 pukul 11.50.”

Pukul 09.21
“Benar, Ipur telah meninggal dunia kemarin. Keluarganya bilang ini suatu kecelakaan, tapi polisi tidak percaya. Kini mereka sedang menyelidiki kasus ini. Mereka curiga bahwa kematiannya tidak wajar. Polisi mengatakan ia terjerat kalungnya sendiri, kalung perak dengan batu berwarna biru…”
Sisil tersentak.
Kalung itu…
Bukankah itu, kalung yang pernah diberikan Ipur untuk Diti? Bagaimana kalung itu bisa berada di tangannya kembali? Apakah Diti yang mengembalikannya sebelum ia membunuh dirinya sendiri?

Pukul 21.29
Sisil membuka kembali buku harian itu. Ia ingin memastikan, apakah Mia benar telah mengembalikan kalung itu? Tapi, ia tak menemukan tulisan yang mengatakan apapun tentang hal itu.
Sisil hampir menutup harian itu, ketika tiba-tiba ia melihat ada halaman lain di bagian belakang buku yang tampak terlewatkan waktu terakhir kali ia membacanya.
Ada sesuatu di halaman paling akhir.
Aneh, pikirnya,padahal pada waktu itu aku yakin kalau aku telah membaca habis buku harian ini sampai halaman paling belakang. Tapi, dibukanya juga halaman itu.
Hanya ada satu kalimat singkat di halaman paling belakang itu.
Ditulis besar-besar dengan tinta berwarnah merah.
Seperti darah….

“Aku akhirnya memilikimu, Ipur sayang….”

0 Response to "“HALAMAN TERAKHIR”"

Posting Komentar

Powered by Blogger